Aku ikut terseret ke dalam impian pria itu,
seperti perahu karet yang terhempas berkali-kali
ke bebatuan dan tebing Sungai Nimanga
dan aku ada di dalamnya bersama Franky.
Sama-sama memegang dayung.
Ayunan dayung itu memang padu namun tidak selalu searah
sebab begitulah hakikat mengendalikan bahtera dalam gulungan jeram.
Satu dayung menahan dan dayung lainnya mengarahkan. Satu membelah arus dan satunya mendorong dayung
berpijak ke batu kokoh agar bahtera kami berbelok ke arah yang benar.
Inilah catatan kecil debar jantungku menemani dan mengisi hidup bersama Franky,
yang akan terus menularkan spirit positifnya
hingga melahirkan lebih banyak penyuka olahraga ekstrem untuk Indonesia yang kita banggakan.
Saksikan sharing Nanvie Kowaas Tagah di Kick Andy 18 Oktober 2019. Dapatkan buku Franky Kengkang Kowaasinspiratif kehidupan Petualan 1000 Nyali Franky “Kengkang” Kowaas di Gramedia.

“PUTIH”
Kangenku memuncak. Sepiku tanpa dia meningkat. Sampai akhirnya mimpi menjadi tanda bahwa Franky masih ada di sekitarku pada rentang empat puluh hari semenjak dia dimakamkan.
Aku berdoa. Aku ingin melihat dia lagi. Kematian yang mendadak tidak memungkinkan aku untuk melihat wajahnya saat meninggal.
“Franky, aku mau lihat kamu. Aku mau lihat wajah kamu ….” Doa itu aku ulang entah berapa kali. Hingga mimpi menjadi jawabannya.
Aku duduk di samping Franky. Dalam kendaraan yang melaju pelan. Dia lebih banyak diam. Memegang kemudi dan fokus menatap ke depan. Tanpa menoleh. Padahal aku ingin melihat raut wajahnya yang tak banyak ucap hari itu.
“Franky kenapa kamu tinggalkan aku?” tanyaku pelan pada dia. tetap saja dia tidak menoleh. Malah sedikit menunduk. Wajahnya berubah menjadi lebih putih dan pucat. Ada sesuatu yang dia sembunyikan. Butiran air mata yang turun dari kedua sudut matanya.
“Kamu menangis, Franky?” Aku sentuh tangan kirinya. Tangisnya kini bersuara. Tetap tanpa menoleh. Tangis seperti biasa diperlihatkan Lingkan anak terkecil kami. Dia tersedu sambil tetap menatap ke depan sedikit tertunduk.
Aku menjadi iba.
“Sudah, Franky. Tak usah dibawa dalam tangis,” bujukku sambil tetap memegang tangan kirinya yang dingin. “Kami sudah tahu kamu dimana. Tidak apa-apa Franky. Kami tidak apa-apa. Kamu pun tidak apa-apa kan?”
Aku sadar. Aku dan Franky memang masih satu hati dan tak terpisahkan. Hanya saja dunia kami sudah berbeda.
Selepas empat puluh hari semenjak Franky tenang di makamnya, mimpi itu tak datang lagi. Mungkin dia sudah dalam pendakian menuju puncak tertinggi ke delapan yakni surga yang agung.

“KAMU PANTAS DAPAT INI”
-Kenangan Lody Korua (Penggiat Alam Bebas) atas kehidupan Franky Kowaas.
Menjelang Franky meninggal, dia mengundang saya untuk datang ke Manado Skyline. Semua biaya ditanggungnya. Tiket penerbangan, penginapan, makan, dan semuanya. Dia ingin memperlihatkan semua yang sudah dia kelola. Dia mengajak saya ke Bukit Tetempangan. Dia kisahkan semua hal indah tentang tempat itu. Setiap hari saya diajak berkeliling.
“Ini semua seperti yang kita bikin di Citarik,” tutur Franky. “Bedanya, Citarik adalah sungai sedangkan ini di udara,” Franky lantas berkata mantap, “Ini semua aku lakukan sesuai saran-saranmu, Lod.” Franky jelaskan secara detail semua hal yag terkait dengan safety dan rescue di bisnis olahraga parayalangnya yang memang termasuk olahraga ekstrim. Mulai dari sistem radio komunikasi, penyediaan mobil evakuasi, keamanan, dan semuanya. “Semua ini saya belajar dari yang saya pelajari selama di Citarik bersamamu,” lanjut Franky.
Lantas, Franky sampaikan satu permintaan yang membuat saya kaget sekali. Dia mau meneruskan obsesi almarhum Dudi, tokoh senior penerjun paralayang Indonesia.
“Apa itu?” selidiki saya.
“Aku mau kamu terbang.”
“Udah lah Franky,” jawab saya mengelak. “Saya tekuni arung jeram saja. Nggak usah terbang.”
“Kamu bukan orang penakut, Lodi,” Franky menguatkan saya tanpa nada mendesak.
Saya bukan penakut. Saya cuma masih menyimpan trauma melihat sahabat saya almarhum Dudi kecelakaan saat menggunakan payung paralayang saya. Meskipun itu sudah terjadi puluhan tahun lalu.
Saya minta waktu untuk berpikir dan lantas kembali ke Jakarta. Ketika sudah mantap, saya pun terbang kembali ke kota Manado untuk tinggal di sana sekitar tiga minggu. Franky menargetkan saya untuk terbang paralayang sebanyak 40 kali penerbangan. Franky menjelaskan detail semua sistem safety paralayang dengan ringkas.
“Semua yang kita praktikkan di sini sudah teruji di luar negeri,” tegas Franky. Semua penjelasan Franky bisa saya terima karena saya memang sangat concern dengan safety. Presentasi Franky masuk di dalam standar saya. Itu yang membuat saya mantap untuk mencoba paralayang dipandu oleh Franky dan timnya.
Sewaktu terbang paralayang pertama kali, saya benar-benar menangis. Saya mengenang sahabat saya almarhum Dudi. Ketakutan dan keharuan menyatu di atas awan. “Akhirnya gue bisa terbang untuk pertama kalinya!”
“Terusin … terusin terbang!” Franky masih saja memotivasi saya untuk terbang lagi dan lagi.
Setelah mencoba sepuluh kali terbang rasa takut saya sudah hilang. Saya pun dapat memenuhi target Franky untuk terbang sebanyak empat puluh kali dalam satu kunjungan itu.
Selama tiga minggu bertamu di Manado, setiap malam saya selalu diajak makan di restoran. Anak buah Franky ikut semua. Turun dari Bukit Tetempangan kami langsung meluncur ke restoran. “Nanvie, restoran mana yang kita sewa malam ini?” Dia bayarin semua.
Tidak hanya itu, ketika saya sudah merasa cukup tinggal di Manado dan menyatakan kangen kepada anak-anak, justru Franky menyiapkan tiket untuk anak-anak saya itu. Mereka terbang dari Jakarta dan bergabung dengan saya belajar paralayang bersama tim Franky.
Soal nyali dan skill, Franky sangat memadai. Dia juga seorang pendobrak. Siapa pun yang hendak melarang dia harus mempunyai argumen kuat. Dengan itu, Franky akan menurut. Kalau tanpa penjelasan dia akan berjalan dengan keyakinannya sendiri.
Tiga minggu bersama Franky telah mengubah hidup saya. Saya telah membeli dan menyimpan payung paralayang selama 32 tahun. Trauma berkepanjangan membuat saya lebih banyak menyimpan dan meminjamkan alat itu untuk orang lain. Kini, Franky telah membuka mata saya. Saya telah terbang 40 kali dalam sekali kedatangan di Manado. Saya tambah lagi menjadi 70 kali terbang setelah Franky meninggal. Saya menjadi tergila-gila dengan olahraga ini!
Begitulah Franky, sahabat sejati saya. Franky sudah mengubah ketakutan saya menjadi kekuatan hati. Dia berikan satu payung paralayang untuk saya.
“Itu payung mahal, Franky,” kata saya.
“Ndak, kamu pantas dapat ini,” sahut Franky tulus.
cuplikan dari buku Franky “Kengkang” Kowaas Petualang Seribu Nyali karya Nanvie Kowaas Tagah. Buku sudah dapat Anda peroleh di toko buku.