
Tiga tahun yang lalu aku mengenalnya. Seorang gadis manis yang suka melukis. Di rumahnya dia punya sebuah studio kecil tempatnya menyalurkan hobi. Aku sendiri tak begitu tertarik pada seni. Tapi aku ikut semangat melihat betapa antusias dirinya dengan lukisan-lukisannya, walaupun belum ada yang dipublikasikan. Setahun yang lalu kami menikah, dan mulai menyicil sebuah rumah sendiri. Orang tuanya ikut menyumbang dana agar cicilan kami tidak terlalu berat. Di rumah baru ini, kusiapkan sebuah ruang studio yang lebih besar untuknya berkarya.
Kemarin tiba-tiba dia bilang, hadiah kejutan untukku akhirnya selesai. Aku ternganga menatap lukisan masterpiece-nya itu. Dengan mata berbinar dia menjelaskan proses detil pembuatan gambar gadis kecil semi abstrak yang tersenyum itu. Aku hanya bisa manggut-manggut, maklum aku bukan orang seni. Dia ingin kami memajangnya di kamar, di atas tempat tidur. Aku tersenyum, kupeluk dan kupuji-puji dia. Tapi lalu aku terpikir, ini akan jadi hadiah yang istimewa untuk orang tuanya. Sebagai tanda terima kasih karena mereka telah membantu membayar rumah kami. Istriku terlihat kecewa, dia bilang butuh enam bulan untuk melukis yang baru. Kubilang orang tua adalah yang paling penting. Dan toh kami akan selamanya bersama, dia bisa membuat karya-karya lain untukku.
Hari ini kami mengantar lukisan itu ke rumah orang tuanya. Mereka pun kehilangan kata-kata saat menatapnya. Istriku kembali dengan gembira menceritakan proses membuatnya, dan mengusulkan lukisan itu dipajang di ruang tamu. Ibunya tersenyum dan berterima kasih, dan bilang kalau seharusnya kami yang menyimpannya, karena itu karya besar perdananya. Ayahnya pun setuju kalau kami yang lebih berhak. Tapi akhirnya kami menang, lukisan itu tinggal di rumah mereka. Aku pulang dengan perasaan lega luar biasa. Setidaknya aku tidak akan dihantui oleh seringai menakutkan gadis itu di atas tempat tidurku. Aku masih punya waktu enam bulan untuk memikirkan ke mana harus menyalurkan hadiahku yang kedua nanti.
karya: Jenny Seputro