Meronce Potongan Kehidupan – Membangun Cerita Slice of Life

Cerita seperti apa yang memancing pembaca untuk menebak-nebak: jangan-jangan ini kisah nyata penulisnya, ya?

Dari koleksi buku karya alumni Akademi Penulis Buku, jenis cerita semacam itu setidaknya ada dua. Pertama, buku karya Elizabeth Rose berjudul Ning Nang Laos. Rasa penasaran pembaca buku ini makin menggunung karena ada kemiripan latar kehidupan penulis dengan si tokoh cerita, yaitu sama-sama seorang Indonesia yang menikah dengan bule. Simak peluncuran buku Ning Nang Laos di sini > Launching Novel “Ning nang Laos” – Elizabeth Rose

Nah … buku kedua yang bikin penasaran pembaca adalah “In Love with Mas Bram” (selanjutnya kita sebut buku Mas Bram) karya Bu Kun Herrini. Apa isi buku fiksi karya Bu Kun pengelola komunitas Ibu Serru ini?

Buku Mas Bram pun berkisah tentang kehidupan sehari-hari layaknya kehidupan rumah tangga di dalam buku Ning nang Laos. Bahkan, saking sederhanyanya, Buku Mas Bram membahas soal latihan nyanyi, jadi panitia ini dan itu, dialog soal sepeda ditinggal atau dibawa pulang, dan sebangsa itu.

Remeh? Yap. Tapi itulah kekuatan dari buku fiksi yang dicetak mandiri dan laku 300 eksemplar pada cetakan pertama ini.

Model fiksi semacam ini disebut sebagai cerita slice of life alias potongan kehidupan. Ciri cerita slice of life seringkali minim ledakan konflik, kalem, dan tenang. Kok? iya … namanya potongan kehidupan jadinya tokoh satu dengan tokoh lainnya acap kali parapihak yang sudah saling kenal.

Dalam banyak kisah drakor, model cerita slice of life pun menampilkan kehidupan teman sekolah, para tetangga, sesama pekerja di rumah sakit atau kantor. Bisa ditebak, kisah itu akan berputar-putar pada kehidupan sehari-hari.

Sederhana, dong?

Enggak seru, dong?

Ah, siapa bilang.

Kekuatan Buku Mas Bram

Saya menemukan kekuatan di dalam buku Mas Bram di balik pilihan gaya cerita slice of life yang dipilih oleh Bu Kun Herrini.

a. Bergaya Flash Fiction

Yap, untuk ukuran fiksi 200-an halaman, buku Mas Bram mempunyai daftar isi sampai dua halaman full. Artinya, buku ini berisi fragmen-fragmen kehidupan yang benar-benar diiris-iris setipis mendoan. Jangan dikira menulis pendek itu gampang. Justru bagi penulis seperti saya, menulis sependek 500-1000 kata seperti dibuat oleh Bu Kun adalah sebuah perjuangan luar biasa. Penulis tidak leluasa berceloteh panjang lebar soal setting tempat dan karakter tokoh. Cerita bergerak cepat dalam tiga babak penting. Tugas penulis adalah mengisi 4-5 halaman buku fiksi ini dengan kesan yang kuat. Bu Kun mampu melakukan itu dengan apik sekaligus bikin nagih.

b. Baris Terakhir Bukan Ending

Kekuatan flash fiction apalagi yang dironce menjadi satu buku seperti karya Bu Kun ini adalah pada ending-nya. Tak boleh berlama-lama untuk menutup cerita. Bahkan, ada kalanya hanya tersisa setengah halaman buku untuk menutup cerita. Beberapa bab di dalam Buku Mas Bram ini dirancang dengan beberapa jenis ending berbeda. Ada paragraf terakhir yang nge-twist, ada penutup yang menggantung, dan ada yang datar seolah tanpa penyelesaian. Karena ini slice of life, tak selalu ada konflik kan? Oh ya, ada satu lagi yakni penutup sebagai jangkar yang mengantar ke arah bab berikutnya. Di dalam kelas novel yang saya ampu, jangkar memang “harus” ada dan bebas mau diletakkan di dalam paragraf terakhir atau di awal paragraf dari bab berikutnya. Sah-sah saja. Ini penting untuk menjadi benang merah dari fragmen-fragmen yang kita buat.

c. Cerita Bergerak dan Berpindah Cepat

Menulis slice of life seperti Buku Mas Bram ini menjauhkan penulis dari keputusasaan saat harus membuat jembatan kalimat antarfragmen cerita. Alih-alih memusingkan problem terjadinya jumping ketika cerita berpindah tempat atau adegan, Bu Kun enjoy saja untuk membuat bab baru saat si tokoh masuk ke dalam adegan baru. Cerita pun mudah untuk mengalir cepat dan lancar.

d. Karakter Tokoh Mudah untuk Dipertahankan Sesuai Skenario

Tokoh-tokoh di dalam buku Mas Bram tak begitu banyak dan rata-rata bukan orang yang serba kebetulan bertemu. Mereka sebagian besar ada sejak awal cerita. Itulah ciri khas slice of life. Keuntungan ini membuat pembaca buku Mas Bram semakin lama semakin akrab dengan paratokoh cerita karena orangnya itu-itu saja dan karakternya kuat dan tak berubah. Lain soal kalau banyak tokoh susulan di sepanjang cerita. Itu menyulitkan penulis.

Kalau pun ada hal yang masih dapat ditingkatkan dalam karya berikutnya, saya melihat dua potensi besar nantinya.

Pertama, eksplorasi latar. Meski ini bergaya flash fiction tapi tetap masih terbuka peluang untuk memberikan detail latar. Taruhlah latar cerita adalah tahun 80-an, tentu dapat dibuat latar yang lebih spesifik. Semisal lagu ngetop masa itu, kendaraan Astrea Supra, tempat makan kondang yg sekarang tak ada di Yogya, juga ujaran-ujaran unik yang bakal mengingkatkan pembaca kelahiran tahun 1960-1980 pada masa itu.

Kedua, pemakaian judul bab. Saya memahami bahwa judul berbahasa Inggris lebih konotatif (baca: indah) daripada judul bab berbahasa Indonesia. Namun, dengan latar cerita Yogyakarta dan ujaran-ujaran berbahasa Jawa, maka judul dengan bahasa bule terasa asing dan tidak melekat pada cerita. Terutama pada 2/3 bagian awal buku ini. Justru pada 1/3 bagian buku di bagian belakang dimana si tokoh mulai berujar dengan bahasa Inggris, Bu Kun malah memakai Bahasa Indonesia sebagai judul bab. 

Dua catatan terakhir itu tidak mengurangi kenikmatan pembaca untuk mengunyah cerita buku Mas Bram sembari mengenang mantan pacar dan mantan camer. 

Silakan Berpendapat

Data Anda kami jamin Aman *wajib diisi