
Saya menonton film The Two Popes dengan seksama. Sampai penutup. Kesannya? Apik. Editing film, dialog yang dibangun, dan pengambilan gambar semua keren.
The Two Popes adalah film tentang dua Paus dalam satu bingkai sinema. Diperankan oleh Anthony Hopkins sebagai Paus Benedict XVI dan Jonathan Pryce sebagai Cardinal Jorge Mario Bergoglio (nantinya dikenal sebagai Paus Francis). Film The Two Popes ditayangkan perdana pada gelar acara Telluride Film Festival, 31 Agustus 2019. Menurut Wikipedia, film ini memulai rilis teater terbatas di Amerika Serikat pada 27 November 2019 dan di Inggris pada 29 November 2019, dan mulai dimikmati di seluruh dengan dengan tayang melalui streaming digital pada 20 Desember 2019 oleh Netflix .
Syarat terbaik menontonnya adalah dengan menanggalkan ke-Katholik-an saya. Ini (sekadar) film fiksi dengan frame sosok nyata para pemimpin tertinggi Gereja Katholik. Jadilah penonton saja. Orang Katolik rata-rata bisa melakukan ini. Tontonan bukanlah tuntunan. Apalagi ajaran iman. Maka menonton film Yesus sekalipun ya tonton dengan pikiran sederhana. Bukan untuk mempertebal iman dan bukan pula untuk cari celah-celah salah. Memang sih, banyak orang Katolik yang masih suka “menuhankan” tokoh Yesus dalam banyak film. Ya biarkan saja. Saya tidak termasuk di dalamnya, hahaha …..
Sebagai penulis biografi, saya belajar pula dari film The Two Popes. Sinau tentang cara mengeksplorasi konflik dan ketegangan dari sosok-sosok yang nyaris tak banyak “hal buruk” di dalam diri tokoh utama. Kemampunan mengulik sisi buruk itu adalah kepiawaian untuk membumbui perjalanan penuturan kisah. Tanpa bumbu itu, kisah bakal kering kerontang.
Pintarnya si penulis skenario adalah mengangkat skandal di Vatikan, kasus pelecehan seksual oleh pastor, dan politik berdarah di Argentina sebagai bangunan kisah yang menegangkan. Padahal, kasus-kasus itu sebenarnya tak menyeret langsung kedua Paus itu. Tapi itulah drama-drama yang bisa dikait-kaitkan.
So, film ini terlihat pintar karena mengangkat konflik di luar pribadi mereka untuk membangun kisah dan ketegangan. Itulah trik yang sering saya pakai juga untuk menulis biografi ketika tokoh-tokohnya tak banyak sisi buruk. Contoh paling nyata adalah saat sayamenulis kisah hidup Pak Syamsu Qamar Badu. Di dalam biografi beliau, awal kisah saya sengaja dorong ketegangan dengan kisah pembakaran kampus Universitas Negeri Gorontalo oleh mahasiswa tempat beliau menjadi rektor. Ada puluhan halaman saya pakai untuk menampilkan drama itu. Kisah penangkapan mahasiswa usai kasus itu, ketegangan dan kekalutan rektor, hingga revolusi manajemen pascarusuh massal itu.
Oh ya, bumbu lain seperti emosi senang, sedih, gelisah, tersipu-sipu (Paus belajar dansa), tersinggung, kesepian, dan juga marah adalah pelajaran lain yang saya timba dari film peraih banyak penghargaan ini untuk menulis biografi.
Maka, kalau ada penulis serius menonton film, bisa jadi dia sedang belajar keras. Seperti saya.
www.penulisbiografi.id